Oleh Dwi Lestari
Bagi Indonesia, pers mulai dikekang sejak tahun 1870. Hal ini disebabkan karena kondisi pemerintahan kolonialisme yang sangat mematikan dunia pers. Pada saat itu, banyak surat kabar yang dibredel karena membahayakan kondisi kolonialis. Namun, hal tersebut justru membangkitkan semangat juang para jurnalis untuk menjadikan pers sebagai senjata perjuangan.
Pers adalah pilar demokrasi yang memiliki energi untuk menyuarakan gerakan reformasi. Ia selincah kancil dan selicik rubah. Ia ikut dalam sejarah kolonialisasi berabad-abad tahun yang lalu. Kolonialisasi merupakan tahap awal dari pers untuk berjuang dan berperan penting dalam menyebarkan semangat revolusi Indonesia ke seluruh dunia. Akan tetapi, pada saat era demokrasi terpimpin, beberapa institusi pers memilih tutup bahkan hilang dari peredaran karena terlalu banyak ketentuan yang berlaku.
Begitu pula kebebasan pers di masa Soeharto. Pers pada masa orde baru terlihat sangat menyedihkan. Ia tidak selincah dulu, hanya bisa diam. PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) yang pada saat itu didirikan, justru dianggap sebagai alat kepentingan Soeharto dan sangat tidak memperjuangkan kepentingan jurnalis. Selain itu, munculnya SIUPP (Surat Izin Untuk Penerbitan Pers) membuat pengawasan atas pers semakin ketat. Kehidupan pers pada masa orde baru ternyata tidak berhasil mendorong Indonesia menuju suatu tatanan yang demokratis. Tertutupnya sumber kebebasan pers ternyata mendorong para jurnalis untuk meneriakkan reformasi. Keletihan berada dalam kekuasaan otoriter, yang selalu menghiraukan hak asasi manusia dan merampas kebebasan rakyat, membuat masyarakat meneriakan reformasi.
Puncaknya tiba saat Indonesia mengalami krisis moneter dan masa sulit di awal tahun 1998. Berbagai kerusuhan, tragedi, dan demonstrasi besar-besaran terjadi dimana-mana. Hingga akhirnya Presiden Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya pada tanggal 21 Mei 1998. Sejak saat itu, kekuasaan Orde Baru runtuh dan berkembanglah sistem pemerintahan baru yakni reformasi.
Reformasi bermakna perubahan terhadap nilai-nilai yang mendasari kinerja sistem pemerintahan. Indonesia mendirikan reformasi di atas fondasi hukum, demokratisasi, dan hak asasi manusia. Reformasi membawa perubahan besar yang telah memenuhi tata nilai kehidupan bangsa dan Negara. Perangkat-perangkatnya pun ikut dirombak. Pemilu yang demokratis telah dilaksanakan dengan memilih Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat. Selain itu, partai-partai berdiri dan pers bebas.
Akhirnya pers bermetamorfosa setelah reformasi tiba. Ia selincah dulu dan sebebas elang. Apabila kita mengingat kembali, banyak surat kabar seperti Tempo, Editor, dan De-Tik yang sering dibredel dengan alasan meresahkan masyarakat dan menyinggung pemerintah, kini tidak ada lagi. Pers berada di tengah masyarakat yang sedang menuju demokratisasi seutuhnya. Menggali penjelasan akan setiap permasalahan. Menyalurkan aspirasi, pendapat, evaluasi, dan saran.
Akan tetapi, dalam euphoria kebebasan pers ini, pemerintah mengkhawatirkan terciptanya berbagai penyelewengan. Oknum-oknum tertentu dapat menyalahgunakan kebebasan pers sebagai alat politik. Terkadang pers memaparkan opini yang terlalu pedas sehingga timbul pertanyaan akan siapa dan maksud yang ada di balik media tersebut. Selain itu, terkadang media masa elektronik menayangkan acara yang kadang jauh dari nilai pendidikan, seperti mengeksplorasi masalah atau kejelekan artis secara berlebihan.
Untuk menghadapi masalah tersebut, diperlukan batasan-batasan antara pers, masyarakat, dan pemerintah. Masyarakat dibatasi dengan norma hukum, pers dibatasi dengan kode etiknya, dan pemerintah dibatasi dengan masyarakat dan pers.
Masyarakat dituntut menjadi lebih aktif dan kritis dalam pemerintahan dan menanggapi pers. Dengan begitu, partisipasi masyarakat menjadi semakin besar dan demokratisasi semakin mudah tercapai.
Referensi:
Suharno, Drs. H. Tri dkk. 2007. Kewarganegaraan 3 Menuju Masyarakat Madani SMA Kelas XII. Jakarta: Yudhistira.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar