Oleh Akbar Sahata Sakapertana
Reformasi berakar pada kata reformation yang secara harfiah berarti pembentukan ulang. Dalam Ilmu Kewarganegaraan, reformasi berarti menata ulang suatu sistem dari penyimpangan guna mengembalikan fungsi atas nilai-nilai ideal yang dicita-citakan rakyat. Definisi ini dapat menarik kesimpulan dengan jelas bahwa indikasi akan keberhasilan reformasi adalah suatu nilai ideal yang dicita-citakan rakyat. Dalam hal yang faktual terhadap pelaksanaan reformasi di negara ini sendiri, perlu digarisbawahi bahwa banyak hal yang masih jauh dari harapan akan sebuah reformasi yang berhasil.
Dimulai dari awal mula sebuah reformasi yang hendak menggulingkan kekuasaan presiden yang terpilih secara sah atas asas de jure. Para penggerak reformasi berjuang seakan disatukan akan tujuan yang sama untuk menegakkan demokrasi. 21 Mei 1998, keberhasilan semu mereka menghasilkan gelak euforia dusta. Dalam sekejap gerakan reformasi kehilangan arah, sangat miris tapi jelas membuktikan bahwa penggerak reformasi ternyata memiliki tujuan terselubung yang memalsunamakan tujuan kebaikan. Mereka malah sibuk sendiri mendirikan partai dengan lagi-lagi mengatasnamakan demokrasi, padahal ingin mendapatkan tampuk kekuasaan. Dari dampak yang ada, justru kelakuan mereka pada masa awal reformasi menyebabkan kekacauan yang ada pada masa ini.
Tidak dapat dipungkiri bahwa rencana reformasi di Indonesia merupakan hasil dari pemikiran yang prematur. Pemilihan demokrasi penuh untuk menjadi dasar kehidupan bernegara adalah contoh faktualnya. Demokrasi sebagai sebuah ideologi yang tak terpisahkan dengan kebebasan membuat Indonesia terkungkum dalam satu lingkaran setan. Kondisi kualitas manusia Indonesia yang masih rendah mengakibatkan banyaknya salah pemahaman ataupun pelaksanaan akan ideologi sangat mengedepankan kebebasan ini. Diperlukan pengertian dan pemahaman yang sangat mendalam guna mengaplikasikan faham ideologi ini, sedangkan kualitas sumber daya manusia masih sangat rendah ketika masa awal reformasi. Hingga akhirnya, pada masa sekarang terdapat lebih banyak kekacauan dalam pemerintahan dan sisi negatif dari sebuah globalisasi yang dihasilkan atas kebebasan yang diberikan demokrasi. Sangat disayangkan, untuk merubah sistem dirasa sangat tidak mungkin karena masih ada perasaan traumatis atas perjuangan reformasi yang telah dilakukan.
Pelaksanaan demokrasi dengan pemberian hak khusus (privilege) bagi setiap daerah untuk mengurusi dirinya sendiri, otonomi daerah, malah sekarang terlihat ingin menciptakan Negara ini menjadi Negara federal. Sedikit banyak keputusan yang didapatkan dari reformasi ini berdampak buruk bagi daerah yang sebenarnya belum siap untuk menghadapi keadaan tersebut. Disini bisa kembali dilihat bahwa otonomi juga menjadi alasan bagi para pemerintah untuk bersikap acuh tak acuh akan keadaan ekonomi di daerah luar ibukota. Alasan penghilangan sentralisasi masih belum masuk akal, karena buktinya sekarang pendapatan hasil bumi dari setiap kabupaten, terutama dari minyak dan gas, masih saja dipermainkan oleh pemerintah pusat dan daerah penghasil hanya menpadatkan hasil yang sangat sedikit.
Reformasi di negeri ini gagal merubah yang seharusnya dirubah. Dimulai dari tercetusnya ide hingga pelaksanaan terlihat jelas bahwa reformasi ini bukanlah sebuah transformasi bentuk untuk kembali kepada nilai ideal yang dicita-citakan rakyat, melainkan bentuk yang memberi celah orang yang ingin berkuasa untuk dapat memimpin. Reformasi yang perlu diadakan adalah pelaksanaan perubahan yang berpedoman pada Dasar Negara RI untuk dapat mempersatukan dan memfokuskan pikiran dan perasaan bangsa. Itu berarti bahwa kita harus menjadikan tegaknya Sistem Pancasila di masyarakat dan bumi Indonesia sebagai tujuan Reformasi.
wow.. judulnya EX-TRIMMMMssssseee'
BalasHapus